BuzzFeed dan Huffington PHK 1.100 karyawan, Industri Media Melemah?

BuzzFeed dan Huffington PHK 1.100 karyawan, Industri Media Melemah? – Dibangun Sebagai Media Digital, Meluas ke Berbagai Jenis Pasar. Mungkin, buat generasi orang tua kalian yang belum dekat dengan fasilitas digital, nama BuzzFeed masih cukup asing. Namun, tidak untuk kebanyakan anak muda yang tinggal di kota-kota besar. Di tahun 2006, Jonah Peretti dan John S. Johnson III membangun BuzzFeed bersama obyek mengumumkan konten-konten yang tengah viral di dunia digital. Hal ini lah yang memicu BuzzFeed lebih dikenal mirip anak muda. Perusahaan ini condong memfokuskan diri di ranah digital dan mengikuti tren anak muda itu sendiri.

Awalnya, sebagai media digital, konten-konten yang ada di BuzzFeed hanya berbentuk kuis-kuis, listicles (artikel bersama dengan format daftar urut), dan artikel budaya pop. Target mereka hanya satu, yakni anak muda yang dekat bersama dengan dunia digital. Strategi ini ternyata  berhasil. BuzzFeed terus merangkak naik bersamaan makin lama luasnya pasar yang konsumsi konten mereka. nahjbayarea.com

Seiring perkembangannya, mereka pun terus memperluas konten-konten di bermacam isu lain seperti isu politik dan bisnis. Kehadiran Ben Smith yang pernah bekerja di Politico pun membawa dampak BuzzFeed makin lama matang dalam jurnalisme investigasi dan reportase. Keputusan ini terbukti sukses. Di tahun 2018 yang lalu, BuzzFeed News sukses memenangkan sejumlah penghargaan seperti National Magazine Award dan George Polk Award.

BuzzFeed dan Huffington PHK 1.100 karyawan, Industri Media Melemah?

Meski demikian, ternyata reputasi ‘ringan’ yang dibawa oleh BuzzFeed telah membuat BuzzFeed News tidak begitu dipercaya. Di tahun 2014, Pew Research Center mengeluarkan fakta kalau di Amerika Serikat, BuzzFeed News tidak dilihat sebagai sumber berita terpercaya. Hal ini membuat BuzzFeed News memutuskan untuk memiliki domain situs tersendiri, melepaskan diri dari laman BuzzFeed utama.

Sejumlah perusahaan media digital yang dianggap sebagai masa depan jurnalisme tengah menghadapi masa-masa sulit, termasuk BuzzFeed dan Huffington Post.

Dalam suratnya kepada karyawan yang bertajuk ‘Difficult Changes’, pendiri sekaligus CEO Buzzfeed Jonah Peretti, memaparkan perusahaan akan memangkas 15% karyawannya. Jumlah tersebut setara dengan 250 pekerjaan atau sekitar 1.100 karyawannya di seluruh dunia.

BuzzFeed mengalami perkembangan penghasilan pada 2018 sehabis sempat merugi pada 2017. Tetapi, Peretti menyebutkan perkembangan penghasilan tersebut tidak lumayan untuk mendorong kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

Dengan mengurangi pengeluaran, katanya, “Kita dapat berkembang dan mengendalikan nasib kita sendiri, tanpa perlu menggalang dana yang lebih besar.”

BuzzFeed dan Huffington PHK 1.100 karyawan, Industri Media Melemah?

Pada saat yang sama, Verizon mengungkapkan akan memangkas 7% dari jumlah karyawan atau sekitar 800 pekerja dari anak usaha medianya yang meliputi Huffington Post, Yahoo, dan AOL.

Sinyal kelesuan industri media digital lainnya juga ditunjukkan oleh Warner Media yang pada Jumat (25/1) mengumumkan akan menutup perusahaan investasi digitalnya, WarnerMedia Investments.

PHK yang diikuti dengan merosotnya penjualan atau pemotongan pengeluaran juga terjadi di perusahaan media lainnya seperti Mic dan Refinery29.

Industri perusahaan sarana digital secara keseluruhan sudah berkurang tajam. Berdasarkan sebagian perkiraan, pergeseran ke digital sudah menghasilkan pengurangan keseluruhan di dalam bisnis berasal dari 50% jadi 80%. 

BuzzFeed dan Vox Media menyaksikan duopoly Facebook dan Google yang merajai dunia iklan online lah yang menjadi penyebab lesunya industri tempat digital.

Kedua raksasa itu diperkirakan dapat menyita lebih berasal dari setengah belanja iklan global pada 2020. Analyst EMarketer memperkirakan perkembangan pangsa pasar mereka menyentuh angka 75% antara 2017 dan 2020, kuantitas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkembangan 15% perusahaan tempat digital.

PHK BuzzFeed, yang sudah pernah terjadi pada 2017, adalah bagian dari operasi perampingan untuk menyiapkan akuisisi atau merger, mungkin dengan saingan langsung seperti Vox atau Vice.

“Jika Anda adalah penerbit berbasis teks pada 2019, seharusnya sudah jelas bahwa mengejar neraca bukanlah strategi yang masuk akal,” tutur Max Willens dari publikasi perdagangan digital Digiday. “Jika itu satu-satunya sumber penghasilan Anda, akan sangat sulit untuk membangun bisnis yang berkembang.”

Akselerasi kemunduran industri media digital mendorong media untuk menemukan saluran pendapatan baru. Contohnya, Vice bekerja sama dengan HBO, BuzzFeed pernah berkolaborasi dengan Netflix dan mereka juga masih menjual peralatan rumah tangga bermerek Tasty melalui Walmart.

Video berdurasi singkat belum dapat menghasilkan pendapatan yang diharapkan. Kelihatannya, podcast akan menjadi bentuk yang dituju selanjutnya. Pekan lalu, The Economist menyatakan akan memperluas tim audio mereka menjadi delapan karyawan. Wall Street Journal pun ingin mengambil langkah serupa.

Menurut salah satu karyawan BuzzFeed, kantor mereka di New York tidak menyangka perusahaan akan mengambil kebijakan PHK.

“Semua platform ini berusaha mencari cara untuk menghasilkan uang dari konten singkat,” kata karyawan itu. “Karena sekarang semua tentang membuat kesepakatan dengan perusahaan besar, seperti kerja sama Vice dengan HBO untuk konten panjang dan produksi media berkualitas tinggi.”

Willens menuturkan bahwa bahkan video berdurasi panjang pun belum tentu dapat menarik keuntungan.

“Saya tidak melihat keuntungan dalam bentuk video berdurasi panjang,” tuturnya. “Periklanan digital saja sudah cukup kompetitif, tetapi untuk menjual program atau film dokumenter mini Anda harus bersaing dengan Warner Borthers atau Anonymous Content serta sejumlah besar pihak dengan sumber daya dan keahlian yang lebih berkembang.”

Dua perusahaan media digital yang dianggap sebagai model ideal terkait bagaimana menemukan saluran pendapatan yang beragam dengan memadukan konten gaya hidup, acara, dan iklan produk adalah Complex dan Dot Dash.

Termasuk juga Condé Nast, yang pekan ini mengumumkan akan memberlakukan sistem langganan berbayar atau paywall mulai akhir tahun.

“Ketika kita melihat keberhasilan paywall The New Yorker, itu luar biasa,” jelas Kepala Pemasaran Condé Nast Pamela Drucker Mann. “Sejujurnya, saya berharap kita melakukan ini sejak lama. Ini akan mengubah segalanya.”

The New Yorker diperkirakan menghasilkan US$118 juta tahun lalu dengan model langganan berbayarnya. Drucker mengatakan, media lain yang telah mencobanya, termasuk Vanity Fair dan Wired.

Kedua media itu melaporkan adanya peningkatkan keterlibatan audiens setelah paywall diberlakukan.

Untuk media seperti Allure, Glamour, atau Brides, yang berfokus pada gaya hidup dan bukan peristiwa langsung, model paywall mungkin akan kurang efektif.

Drucker Mann memperingatkan, dia tidak mengantisipasi peningkatan kuantitas langganan berbayar jadi cuma satu segi yang dapat membantu berdirinya merek-merek itu.

Dalam upaya untuk beradaptasi bersama dengan lanskap industri tempat digital yang udah berubah, godaan untuk mencari pemberian dapat senantiasa ada.

Sama halnya disaat iTunes membantu industri musik melalui kekacauan dunia digital bersama dengan menjual tiap-tiap lagu, banyak yang berpikir Texture, layanan berlangganan Apple untuk konten majalah dan surat kabar, dapat jadi penyelamat mirip bagi tempat digital.

Tetapi bantuan seperti itu tidak dikehendaki semua media. Untuk sarana besar seperti The New York Times, Washington Post, atau Financial Times, yang mempunyai type berlangganan yang sukses, gagasan untuk mendapatkan persentase penjualan bundel tidak akan dianggap menarik.

“Ada sedikit sekali insentif untuk perusahaan yang udah membangun bisnis bersama menjajakan product mereka seharga US$15 per bulan untuk lantas berhimpun bersama product yang memberikan semua konten mereka dengan harga hanya US$9 sebulan,” ungkap Willens. “Bagi perusahaan sarana yang udah mempunyai type langganan berbayar yang sukses, tidak ada ketertarikan untuk berhimpun bersama Texture.”